Laman

Sabtu, 30 Oktober 2010

Depresi

KASUS
Skenario 4: Depresi
Seorang wanita berusia 21 tahun datang ke poliklinik mengeluh tidak dapat tidur nyenyak, sering terbangun, energinya berkurang, gairah seksual dan nafsu makan menurun. Dia juga mengeluh kadang-kadang ingin mati saja. Keluhan ini sudah bertahun-tahun dirasakan. Raut wajahnya tampak sangat sedih, bicara perlahan dan suaranya nyaris tak terdengar. Begitu dalam berespon agak lambat. Ketika ditanya apakah pernah terlitas dalam pikirannya untuk bunuh diri atau membunuh orang lain, dia menjawab ”Saya dapat mengendalikan diri saya sekarang”.
KASUS
Skenario 4: Depresi
Seorang wanita berusia 21 tahun datang ke poliklinik mengeluh tidak dapat tidur nyenyak, sering terbangun, energinya berkurang, gairah seksual dan nafsu makan menurun. Dia juga mengeluh kadang-kadang ingin mati saja. Keluhan ini sudah bertahun-tahun dirasakan. Raut wajahnya tampak sangat sedih, bicara perlahan dan suaranya nyaris tak terdengar. Begitu dalam berespon agak lambat. Ketika ditanya apakah pernah terlitas dalam pikirannya untuk bunuh diri atau membunuh orang lain, dia menjawab ”Saya dapat mengendalikan diri saya sekarang”.

A.    Kata Kunci
1.      Perempuan 21 tahun
2.      Tidak dapat tidur nyenyak
3.      Sering terbangun
4.      Energi berkurang
5.      Gairah seksual menurun
6.      Nafsu makan menurun
7.      Ingin mati
8.      Keluhan sudah bertahun-tahun.
9.      Raut wajah sangat sedih
10.  Bicara perlahan
11.  Suaranya nyaris tak terdengar
12.  Berespon agak lambat
13.  Dapat mengendalikan dirinya
B.     Pertanyaan
1.      Jelaskan anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan depresi?
2.      Apa keluhan utama pada kasus di atas?
3.      Apa saja etiologi gangguan depresi?
4.      Bagaimana patomekanisme terjadinya berbagai gejala pada kasus?
5.      Apa Differential Diagnosisnya?
6.      Pemeriksaan penunjang apa yang dapat digunakan dalam kasus tersebut?
7.      Bagaimana penatalaksanaannya?

C.    Jawaban
1.      Anatomi susunan saraf yang behubungan dengan depresi yakni sistem limbik.
Emosi dan tingkah laku diatur oleh ganglia basal dari otak, yaitu system limbik. Aktivitas bagian ini serta aktivitas sistem neurohormonal akan menimbulkan ekspresi emosional. Limbik berarti “batas” yang terdiri dari jaringan kortikal di sekitar hilus dari hemisfer serebri serta terdiri dari lobus limbicus, kompleks nuclei amygdaloideae, nuclei septalis, hypothalamus, epithalamus, dan beberapa nuclei thalami. Istilah system limbic diperluas lagi menjadi semua struktur saraf yang terlibat di dalam emosi dan dorongan motivasi. Secara filogenetik system limbic merupakan bagian dari korteks yang paling tua. Secara histologis, tersusun atas jaringan korteks yang primitive disebut allokorteks, yang mengelilingi hilus hemisfer. Selain itu terdapat bentuk transisi dari korteks disebut juxtakorteks yang terletak di antara allokorteks dan hemisfer serebri. Jaringan kortikal lainnya adalah neokorteks yang merupakan bagian yang sangat berkembang.
Salah satu karakteristik dari system limbic adalah kurangnya hubungan dengan neokorteks. Walaupun hubungannya dengan neokorteks kurang, neokorteks memodifikasi tingkah laku emosional dan sebaliknya. Karakteristik lainnya dari system limbic adalah aktivitasnya yang menetap sesudah suatu stimulasi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa respon emosional dapat bertahan lama setelah suatu stimulus.
Sistem limbic terkait dengan emosi yang diakibatkan oleh bau yang menyenangkan ataupun yang tidak. Secara skematis, dapat diuraikan lintasan utama dari sistem limbicum, sebagai berikut :
a.       subiculum mengeluarkan serabut eferen melalui forniks menuju ke area septalis, hypothalamus, dan tegmentum mesenchepali;
b.      Formatio hipocampi mengeluarkan serabut eferen yang berjalan melalui forniks menuju ke area septalis;
c.       Area septalis mengeluarkan serabut-serabut eferen yang berjalan dalam forniks menuju ke hippocampus;
d.      Dari amygdala, keluar serabut eferen menuju ke area septalis melalui diagonal band of Brocca dan hypothalamus;
e.       Antara area septalis dan hypothalamus ada hubungan tumbal balik;
f.       Antara hypothalamus ada hubungan timbal balik dengan tegmentum mesenchepali;
g.      Corpus mamillare mengeluarkan tractus mammilothalamicus yang membentuk sinaps pada nucleus anterior thalami dan stimulus diteruskan pada gyrus cinguli;
h.      Gyrus cinguli mempunyai hubungan eferen dengan korteks entorhinal;
i.        Korteks entorhinal mengeluarkan serabut eferen ke hypothalamus dan subiculum.
Fisiologi susunan saraf yang behubungan dengan depresi.
Ø  Fungsi Hipothalamus
Struktur utama dari system limbic adlah hypothalamus dengan struktur di sekitarnya. Selain fungsinya untuk mengatur tingkah laku, hypothalamus juga mengatur banyak fungsi tubuh lainnya seperti suhu tubuh, osmolaritas cairan tubuh, nafsu makan dan pengaturan berat badan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi vegetative dari otak dan mempunyai hubungan erat dengan tingkah laku. Selain fungsi vegetative dan pengaturan tingkah laku, hypothalamus juga mempunyai fungsi endokrin. Ketiga fungsi ini dalam aktivitasnya berhubungan satu sama lainnya.
·        Fungsi vegetatif dan endokrin hypothalamus
Fungsi vegetatif hypothalamus mempunyai hubungan yang sangat erat dengan fungsi pengaturan tingkah laku. Pada hipthalamus terdapat pusat pengaturan kardiovaskuler yang mengatur tekanan darah dan frekuensi jantung. Terdapat juga pusat pengaturan suhu, dan pusat haus yang mengatur sensasi haus. Pengaturan rasa lapar dan kontraksi uterus serta ejeksi air susu kelenjar mammae juga diatur oleh hypothalamus. Hal ini yang menyebabkan stimulasi limbic yang membangkitkan emosi akan menyebabkan timbulnya efek otonomi terutama meningkatnya tekanan darah dan pernapasan.
Perangsangan pada beberapa daerah di hypothalamus dapat menyebabkan seseorang merasa sangat lapar dan nafsu makan meningkat. Daerah yang berhubungan erat dengan rasa lapar adalah hypothalamus bagian lateral. Kerusakan pada daerah ini menyebabkan seseorang kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian akibat kelaparan. Daerah nucleus ventromedial merupakan pusat rasa kenyang (satiety center). Bila daerah ini dirangsang, nafsu makan akan menurun sedangkan bila daerah ini rusak, nafsu makan seseorang tidak pernah terpuaskan akibatnya dapat terjadi obesitas yang berlebihan.
·         Fungsi hypothalamus dalam pengaturan tingkah laku
Selain fungsi vegetative dan endokrin tersebut, perangsangan  atau kerusakan pada hipothalmus dapat meyebabkan gangguan emosi dan tingkah laku. Pada hewan percobaan, perangsangan pada daerah-daerah di bawah ini dapat menyebabkan pengaruh terhadap tingkah laku:
a. Perangsangan pada bagian lateral hypothalamus tidak hanya menyebabkan rasa haus tetapi juga dapat menyebabkan rasa marah dan tingkah laku agresif.
b. Perangsangan pada daerah nucleus ventromedial dan daerah di sekitarnya terutama akan menyebabkan efek yang berlawanan dengan perangsangan pada daerah lateral hypothalamus, yaitu menyebabkan rasa kenyang dan tenang.
c. Perangsangan pada daerah nucleus paraventrikularis yang berlokasi di sekitar ventrikel III biasanya akan menyebabkan rasa marah dan rasa bersalah.
d. Rangsangan seksual dapat ditimbulkan dengan merangsang sebagian besar daerah anterior dan posterior hypothalamus.
Kerusakan pada daerah-daerah tersebut di atas dapat menyebabkan pengaruh yang berlawanan dengan akibat perangsangan daerah-daerah tersebut.
Ø  Neurotransmitter yang berperanan dalam patomekanisme depresi.
a. Norepinefrin
Norepinefrin (NE) adalah neurotransmitter yang banyak terdapat pada postgangglion simpatis, kortks serebri, hypothalamus, batang otak, serebellum dan medulla spinalis. Pada susunan saraf pusat, neuron yang menghasilkan norepinefrin-neuron norandrenergik- mengirim serabut sarafnya ke bagian otak lainnya dan membantu mengatur aktivitas fisik dan psikologis. Selain itu, norepinefrin juga dihasilkan di medulla adrenal.
§  Sintesis
Norepinefrin disentesis dari precursor asam amino tirosin yang akan mengalami hidrolisis menjadi L-dopa (L-3,4-dihydroxyphenylalanine) oleh enzim tirosin hidroksilase. L-dopa selanjutnya akan didekarboksilase menjadi dopamine oleh enzim L-aromatic amino acid decarboxylase. Enzi mini membutuhkan vitamin B6 sebagai co-faktor. Dopamin yang telah terbentuk akan ditransport ke dalam vesikel, dimana dopamine akan dihidroksilase menjadi norepinefrin oleh enzim dopamine-hidroksilase. Aktivitas enzim dopamine-hidroksilase ini memerlukan O2 dan vitamin C sebagai co-faktor. Pada medulla adrenalis dan di beberapa bagian susunan saraf pusat, NE selanjutnya dirubah menjadiepinefrin leh enzim phenylethanolamin-N-methyl transferase. Sintesis NE dipengaruhi oleh aktivitas enzim tirosin hidroksilase. Perangsangan simpatis yang akan meningkatkan sintesis NE terjadi dengan jalan meningkatkan aktivitas tirosin hidroksilase atau menghambat perusakan enzim tersebut.
§  Penyimpanan
Norepinefrin yang terbentuk disimpan dalam vesikel yang bergranula membentuk kompleks dengan ATP, protein yang disebut chromogranin, ion Mg, Ca, dan Cu. Choromogranin yang paling banyak adalah choromogranin A yang memegang peranan penting dalam penyimpanan dan sekresi NE. NE ditranspor ke dalam vesikel dengan proses transport aktif yang membutuhkan ATP sebagai sumber energy dan ion Mg untuk mengaktifkan enzim ATP-ase. Transpor NE ke dalam vesikel dihambat oleh reserpin yang sering dipergunakan sebagi obat  anihipertensi. Reserpin menyebabkan NE tidak dapat ditranspor ke dalam vesikel sehingga NE tetap berada pada sitoplama dimana ia akan dirusak oleh enzim monoamine oksidase (MAO).
§  Sekresi
Sekresi NE terjadi dengan proses eksositosis, dimana membrane vesikel akan bersatu dengan membrane plasma dan selanjutnya isi vesikel-yang terdiri dari NE, ATP, dopamine hidroksilaseda chromogranin-akan dilepas ke celah sinaptik. Pada proses ini, ion Ca memegang peranan penting.  Selain itu, diduga prostaglandin E2 (PGE2) juga dapat mempengaruhi sekresi NE dengan jalan mencegah ion Ca untuk masuk ke dalam sel sehingga tidak terjadi eksositosis.
§  Inaktifasi
Efek NE pada postsinaps akan diakhiri dengan adanya mekanisme re-uptake baik oleh neuron presinaptik sendiri atau oleh jaringan non-neuronal seperti hati, otot dan jaringan konektif. Neuronal re-uptake memerlukan ATP sebagai sumber energy, dimana NE akan ditranspor ke dalam terminal terminal presinaptik dan selanjutnya disimpan di dalam vesikel.
§  Aspek Farmakologi
Dengan mengetahui peranan NE dalam berbagai aktivitas fisiologis tubuh, maka berbagai intervensi farmakologis dapat dilakukan untuk menangani berbagai kelainan klinik yang melibatkan NE. Obat-obat yang meningkatkan konsentrasi NE di otak menyebabkan meningkatnya perasaaan gembira dan obat-obat yang menyebabkan berkurangnya konsentrasi NE di otak menyebabkan perasaan depresi. Pada penderita manic-depresif terdapat bukti adanya kelainan kromosom nomor 11 yang mengatur pembentukan enzim tirosin hidroksilase. Gangguan pembentukan enzim ini menyebabkan sintesis NE terganggu.

b. Dopamin
Dopamin terdapat pada striatum, hipothalamus, system limbic, median eminence, dan interneuron pada retina. Pada beberapa ganglia otonom dan bagian-bagian tertentu di otak seperti substansia nigra, sintesis katekolamin hanya sampai pada pembentukan dopamine. Sebagian besar pengetahuan kita tentang dopamine adalah peranannya pada susunan saraf pusat dan sedikit yang diketahui mengenai peranannya di perifer. Baik di susunan saraf pusat maupun di susunan saraf perifer, dopamin juga menjadi precursor untuk pembentukan NE dan epinefrin.
§  Sintesis dan Penyimpanan
Sintesis dopamine seperti halnya dengan sintesis NE berasal dari asam amino tirosin. Proses penyimpanannya juga sama. Pengaturan sintesis dopamine tergantung dari aktivitas enzim tirosin hidroksilase dan dopa dekaroboksilase. L-dopa ditranspor secara aktif ke dalam neuron pada susunan saraf pusat dimana ia akan dikonversi menjadi dopamine oleh enzim dopa dekarboksilase. Dopamin akan tersimpan di dalam vesikel dan sebagian lagi diambil oleh sel glia. Sel glia tidak dapat menyimpan dopamine secara efisien sehingga dopamine akan berdifusi ke luar untuk merangsang reseptor dopamine atau dire-uptake oleh neuron dopaminergik. Bila terjadi degenerasi neuron dopamine (seperti pada penyakit Parkinson), maka peranan dopamine yang berasal dari sel-sel glia enjadi sangat penting.
§  Sekresi
Seperti halnya NE, dopamin disekresi ke celah sinaptik melalui proses eksositosis dimana proses ini membutuhkan ion Ca. Seperti halya NE, sekresi dopamine juga ditingkatkan oleh tiramin, amfetamin, methilamfetamin, dan juga nomifensin.
§  Mekanisme Kerja
Transmini dopaminergik nampaknya hanya terdapat pada susunan saraf pusat. Dopamin bekerja melalui reseptor dopamine yang terdapat pada neuron  postsinaptik. Beberapa jaringan perifer dapat memberi respon terhadap pemberian dopamine tetapi tidak ditemukan persarafan dopaminergik pada jaringan-jaringan tersebut (misalnya, jantung, pembuluh darah dan usus). Hal ini menunjukkan bahwa pada jaringan perifer juga terdapat reseptor dopamine. Reseptor dopamine yang telah diisolasi strukturnya adalah reseptor dopamine 1 (D1) dan reseptor dopamine 2 (D2). Akhir-akhir ini ada bukti yang menunjukkan bahwa reseptor dopamine yang terdapat dalam jaringan lebih dari dua. Reseptor D1 bekerja dengan jalan mengaktifkan enzim adenilat siklase melalui Gs dan reseptor D2 bekerja dengan jalan menghambat enzim adenilat siklase dengan mengaktifkan Gi.
Pada susunan saraf perifer, reseptor dopamine ditemukan pada beberapa ganglia sinaptik, kelenjar eksokrin, saluran cerna dan otot polos pembuluh darah. Pada susunan saraf pusat terdapat pada daerah nigrostriatal, daerah limbic seperti amigdala dan hippocampus serta daerah tubero-infundibular seperti nucleus arkuatus dan hypothalamus.
§  Inaktifasi
Seperti halnya dengan NE, inaktifasi dopamine terjadi dengan proses re-uptake neuronal dan proses enzimatik. Enzim MAO dan COMT akan memetabolisir dopamine menjadi bentuk yang tidak aktif seperti 3,4-dihidroksi-phenulacetic acid (DOPAC) dan homovanilic acid (HVA).
§  Aspek Farmakologis
Dopamin terlibat di dalam proses terjadinya penyakit Parkinson, dimana pada penyakit ini terjadi kekurangan dopamine akabat degenerasi neuron dopaminergik pada substansia nigra dan striatum.
c. Serotonin (5-hydroxytryptamin)
Serotonin (5-HT) terdapat dalam jumlah yang besar pada trombosit dan saluran cerna yaitu pada pleksus mienterikus. Pada susunan saraf pusat, ditemukan pada cornu posterior medulla spinalis, system limbic, serebellum dan hypothalamus. Pada daerah ini, 5-HT bekerja menghambat impuls nyeri dan mengatur suasana perasaan seseorang.
§  Sintesis dan penyimpanan
5-HT disintesis dari asam amino triptofan yang akan dihidrolisa menjadi 5-hidroksitriptofan (5-HTP) oleh enzim triptofan hidroksilase. 5-HTP akan didekarboksilase di sitoplasma menjadi 5-HT oleh enzim 5-HTP dekarboksilase. Proses dekarboksilase ini membutuhkan vitamin B6 sebagai co-faktor. Penyimpanan 5-HT hampir sama dengan penyimpanan NE.
§  Mekanisme kerja dan Aspek Farmakologis
5-HT bekerja pada postsinaps melalui reseptor serotonin. Seperti halnya reseptor dopamine dan histamine, reseptor 5-HT juga terdapat pada membrane presinaps. Berbagai obat dapat memodifikasi transmisi serotonergik.
2.      Keluhan utama pada kasus tersebut adalah afek depresi.

3.      Etiologi gangguan depresi, yaitu:
Dasar umum untuk gangguan mood tidak diketahui. Banyak usaha untuk mengenali suatu penyebab biologis atau psikososial untuk gangguan mood telah dihalangi oleh heterogenias populasi pasien yang ditentukan oleh sistem diagnostik yang didasarkan secara klinis yang ada, termasuk DSM-IV. Faktor penyebab dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika, dan faktor psiksosial. Perbedaan tersebut adalah buatan karena kemungkinan bahwa ketiga bidang tersebut berinteraksi di antara mereka sendiri. Sebagai contohnya, faktor psikososial dan faktor genetika dapat mempengaruhi faktor biologis (sebagai contohnya, konsentrasi neurotransmitter tertentu). Faktor biologis dan faktor psikososial juga dapat mempengaruhi ekspresi gen. Dan faktor biologis dan genetika dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stressor psikososial.
a.       Faktor biologis
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan dalam metabolit amin biogenik seperti 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) di dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal pada pasien dengan gangguan mood. Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan  mood adalah berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik.
·         Amin Biogenik
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Pada model binatang, hampir semua terapi antidepresan somatik yang efektif yang telah diuji adalah disertai dengan penurunan kepekaan reseptor pascasinaptik andrenergik-beta dan 5-hydroxytryptamine tipe 2 (5-HT2) setelah terapi jangka panjang, walaupun perubahan lain yang dihasilkan oleh terapi jangka panjang dengan obat tersebut juga telah dilaporkan. Respon temporal perubahan reseptor tersebut pada model binatang adalah berkorelasi denga keterlambatan perbaikan klinis selama satu sampai tiga minggu yang biasanya ditemukan pada pasien. Disamping norepinefrin, serotonin, dan dopamin, bukti-bukti mengarahkan pada disregulasi asetil-kolin dalam gangguan mood.
Ø  Norpinefrin
Korelasi yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara regulasi turun (down-regulation) reseptor andrenergik-beta dan respon  antidepresan klinik kemungkinan merupakan bagian data yang paling memaksakan yang menyatakan adanya peranan langsung sistem norandrenergik dalam depresi. Jenis bukti lain juga telah melibatkan reseptor andrenergik-alfa2 dalam depresi, karena aktivasi reseptor tersebut menyebabkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor andregenik-alfa2 juga berlokasi pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Adanya norandrenergik yang hampir murni, obat antidepresan yang efektif secara klinis-sebagai contohnya, desipramine (norpramine)-mendukung lebih lanjut peranan norepinefrin di dalam patofisiologi sekurangnya gejala depresi.
Ø  Serotonin
Dengan efek besar yang telah diberikan oleh serotonin-spesific reuptake inhibitors (SSRIs)-sebagai contohnya, fluoxetine (prozac)-dalam pengobatan depresi, serotonin telah menjadi neurotransmitter amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan depresi. Diidentifikasinya subtipe reseptor serotonin multipel juga telah meningkatkan kegairahan dalam penelitian komunitas untuk mengembangkan terapi yang lebih spesifik untuk depresi. Penurunan serotoni dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin dalam cairan serebrospinalis yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit, seperti yang diukur oleh imipramin (Tofranil) yang berikatan dengan trombosit. Beberapa pasien depresi juga memiliki respon neuroendokrin yang abnormal-sebagai contohnya, hormon pertumbuhan,  prolaktin, dan hormon adrenokortikotropik (ACTH)-terhadap provokasi dengan agen serotonergik.
Ø  Dopamin
Walupun norepinefrin dan serotonin adalah amin bogenik yang palng sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Data menyatakan bahwa aktivitas dopamin mungkin menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian tetntang regulasi prasinaptik dan pascasinaptik fungsi dopamin telah semakin memperkaya penelitian tentang hubungan antara dopamin dan gangguan mood. Obat yang menurunkan konsentrasi dopamin-sebagai conohnya, reserpine (Serpasil)-dan penyakit yang menurunkan konsentrasi dopamin (sebagai contohnya, penyakit parkinson) adalah disertai dengan gejala depresif. Juga obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin-sebagai contohnya, tyrosin, amphetamine, dan bupropion (Wellbutrin) menurunkan gejala depresi. Dua teori terakhir tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin mesolimbik munkin mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamin tipe 1 (D1) mungkin hipoaktif pada depresi.
·         Faktor neurokimiawi lain
Walaupun data tidak memuaskan pada saat ini, neurotansmitter asam amino-khususnya gamma aminobutyric acid (GABA)-dan peptida neuroaktif (khususnya vasopresin dan opiat endogen) juga telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.
·         Regulasi neuroendokrin
Hipothalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal dan hipothalmus sendiri menerima banyak masukan (input) neuronal yang mengandung neurotransmitter amin biogenik. Berbagai disregulasi telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan demikian, regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin merupakan hasil dari fungsi abnormal neuron yang mengandung amin biogenik. Walaupun secara teoritis dimungkinkan bagi disregulasi tertentu pada sumbu neuroendokrin (sebagai contohnya, sumbu tiroid, sumbu adrenal) untuk terlibat dalam penyebab gangguan mood, disregulasi lebih mungkin mencerminkan gangguan otak fundamental yang mendasari. Sumbu neuroendokrin utama yang menarik perhatian dalam gangguan mood adalah sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan.
b.      Faktor Genetik
Data genetik yang menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks; bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi fakor non-genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Di samping itu, terdapat komponen geneika yang lebih kuat untuk transmisi gangguan bipolar I daripada untuk tansmisi gangguan depresi.
c.       Faktor Psikososial
·         Peristiwa kehidupan dan stres lingkugan
Suatu pengamatan klinis yang telah lama yang telah direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresi dan gangguan bipolar I. Suatu teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stres yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter  dan sistem pemberi signal intraneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunanan besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhirnya dari perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode  gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal.
·         Faktor psikoanalitik dan psikodinamika
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud mengendalikan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internalkarena idnifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sediri sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.
·         Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
Di dalam percobaan dimana binatang secara berulang dipaparkan dengan kejutan listrik yang idak dihindarinya, binatang akhirnya  menyerah dan tidak melakukan usaha sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang depresi, kita akan menemukan keadaan ketidakberdayaan yang mirip. Menurut teori ketidakberdayaan yang dipelajari, depresi dapat membaik jika klinisi mengisi pada pasien yang terdpresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan.
·         Teori kognitif
Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi negatif pengalaman hidup, penilian diri yang negatif, pesimisme, dan kepuasan. Pandangan negatif yang dipelajari  tersebut selanjutnya menyebabka perasaan depresi.
4.      Patomekanisme terjadinya gejala-gejala pada kasus.
a.       Tidak dapat tidur nyenyak dan sering terbangun
Gangguan tidur-insomnia awal dan terminal, terbangun berulang kali (multipel awekening), hipersomnia-adalah gejala klasik yang sering ditemukan pada depresi. Peneliti telah lama mengenali bahwa elektroensephalogram (EEG) tidur pada banyak orang yang mengalami depresi menunjukkan kelainan. Kelainan yang sering ditemukan adalahperlambatan onset tidur, pemendekan latensi REM (rapid eye movement, yaitu waktu antara tertidur dan periode REM pertama), peningkatan panjang periode REM pertama dan tidur delta yang abnormal. Berberapa peneliti telah berusaha menggunakan EEG tidur dalam pemeriksaan diagnostik pasien dengan gangguan mood. Kelainan arsitektur tidur pada depresi yang sementara yang berhubungan  dengan pengurangan tidur telah menimblkan teori bahwa depresi mencerminkan suatu regulasi abnormal irama sirkadian. Beberapa penelitian dengan binatang menyatakan bahwa terapi antidepresan standar adalah efektif dalam mengubah jam biologis internal.
b.      Energi berkurang, disebabkan oleh nafsu makan menurun sehingga tidak dihasilkan cukup energi untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari.
c.       Gairah seksual menurun
Gairah seksual menurun dapat terjadi apabila terdapat kerusakan pada sebagian besar daerah anterior dan posterior hypothalamus.
d.      Nafsu makan menurun
Perangsangan pada daerah nucleus ventromedial dan daerah di sekitarnya akan menyebabkan rasa kenyang sehingga ia merasa tidak ingin makan. Kerusakan pada daerah lateral hypothalamus juga akan menyebabkan rasa kenyang dan kehilangan nafsu makan.
e.       Ingin mati
Sebagian besar orang yang terdepresi merasa ingin mati karena mereka merasa tidak lagi dapat menanggung beban yang dirasakan sehingga mereka berusaha menyelesaikan masalahnya dengan jalan bunuh diri. Pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah dalam cairan serebrospinal dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit, seperti yang diukur oleh imipramin (Tofranil) yang berikatan dengan trombosit.
f.       Raut wajah sangat sedih
Sebagian besar orang yang terdepresi merasa bersalah, kehilangan minat dan konsentrasi berkurang. Hal tersebut dapat menyebabkan raut wajah terlihat sangat sedih.
g.      Bicara perlahan, Suaranya nyaris tak terdengar, dan Berespon agak lambat.
Banyak pasien terdepresi menunjukkan suatu kecepatan dan volume bicara yang menurun, berespon dengan pertanyaan dengan kata-kata tunggal dan menunjukkan respon yang melambat terhadap pertanyaan.
h.      Dapat mengendalikan dirinya
Sebagian besar penderita depresi merasa dapat mengendalikan dirinya walaupun sebenarnya mereka kehilangan perasaan kendali.
5. Differential Diagnosisnya, yaitu:
a. Gangguan Afektif Depresi
b. Depresi Pasca Scizophrenia
c. Gangguan tingkah laku depresif pasca trauma
d. Gangguan mental organik depresif
6. Pemeriksaan Penunjang untuk menegakkan diagnosis.
a. Laboratorium
·         Darah rutin
·         Urinalisa
·         Kadar neurotransmitter
b. Radiologi
·         CT scan
·         PET
·         Brain mapping
c. Psikologi
·         Rorschach
·         TAT
·         Draw-a-person
·         Raven test
·         MMPI
7. Penatalaksaan gangguan depresi secara umum.
a. Biologik
·         Farmakologi
·         ECT
b. Psikologik
·         Psikoterapi
c. Sosial
·         Preventif
·         Rehabilitatif
D.   Tujuan pembelajaran Selanjutnya
Tujuan pembelajaran selanjutnya, yaitu mengetahui lebih dalam tentang patomekanisme terjadinya gejala pada gangguan depresi
E.   Informasi Baru
Ternyata semua kasus bunuh diri tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati seseorang. Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey mengetahui fakta tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17 di antaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah disbanding mereka yang meninggal bukan karena bunuh diri. Temuan yang dipublikasikan di jurnal Archives of General Psychiatry menyatakan bahwa PKC merupakan komponen yang berperan dalam komunikasi sel, terhubung erat dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu. Pandey dan timnya sangat tertarik untuk mengatahui kaitan lain antara PKC dengan kasus bunuh diri di kalangan remaja belasan tahun. Dari 17 remaja yang meninggal akibat bunuh diri, sembilan di antaranya memiliki sejarah gangguan mental. Delapan yang lain tidak mempunyai riwayat gangguan psikis namun dua di antaranya mempunyai sejarah kecanduan alkohol dan obat terlarang. Aktivitas PKC pada otak para remaja tersebut jumlahnya sangat kecil dibanding dengan remaja yang meninggal bukan karena bunuh diri. Dari sini disimpulkan bahwa kondisi abnormal PKC bisa menjelaskan mengapa sebagian remaja memiliki keinginan bunuh diri.
Studi Lanjutan
PKC bisa menjadi target intervensi terapi pada pasien-pasien yang memiliki perilaku kecenderungan untuk bunuh diri,” ujar Pandey seperti yang dikutip BBC News Online belum lama ini. Namun masih menjadi misteri mengapa ketidaknormalan PKC bisa berpengaruh sedemikian besar. Dr Peter Parker, ilmuwan dari Cancer Research London Research Institute, berkomentar bahwa studi tersebut belum bisa dikatakan final. Materi fisik yang dijadikan sampel dari orang yang sudah meninggal bisa jadi sudah rusak akibat waktu ketika dilakukan penelitian. Memahami lebih banyak mengenai enzim PKC bisa memberi pencerahan dalam memberi pengobatan efektif bagi pasien-pasien yang memang memiliki kebiasaan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Kasus bunuh diri remaja juga menjadi perhatian di dalam bidang kesehatan. Selama ini sudah banyak diketahui faktor psikososialnya. Tetapi masih sangat sedikit sekali yang diketahui dari sisi faktor neurobiologinya. Dengan mengetahui fakta neurobiologi para korban bunuh diri, diharap kelak pengobatan dan terapi terhadap pasien penderita depresi bisa lebih efektif. Setidaknya formula obat yang dibuat bisa lebih tepat lagi, demikian pula terapi lain seperti konsultasi dan bercakap-cakap dengan remaja yang memiliki kecenderungan bunuh diri
F. Analisis Informasi          
Pada kasus, Seorang wanita berusia 21 tahun datang ke poliklinik mengeluh tidak dapat tidur nyenyak, sering terbangun, energinya berkurang, gairah seksual dan nafsu makan menurun. Dia juga mengeluh kadang-kadang ingin mati saja. Keluhan ini sudah bertahun-tahun dirasakan. Raut wajahnya tampak sangat sedih, bicara perlahan dan suaranya nyaris tak terdengar. Begitu dalam berespon agak lambat. Ketika ditanya apakah pernah terlitas dalam pikirannya untuk bunuh diri atau membunuh orang lain, dia menjawab ”Saya dapat mengendalikan diri saya sekarang”.
Informasi yang tertera pada modul merupakan informasi yang sangat umum, gejala-gejala yang muncul merupakan gejala umum pada penyakit psikiatri. Sehingga pengambilan diagnosa yang pasti merupakan hal yang kurang bijak dan tidak tepat. Oleh karena itu dengan berdasar kepada gejala-gejala tersebut, dapat dimunculkan beberapa diagnosa banding yang masih memerlukan tahap-tahap diagnosis tertentu seperti anamnesis dan pemeriksaan penunjang lainnya yang memungkinkan munculnya kausa penyakit dan penegakan diagnosa yang tepat.
Berdasarkan gejala-gejala yang dialami oleh penderita dalam pasien, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
                      DD
Gejala
Gangguan Afektif Depresi
Depresi Pasca Scizophrenia

Gangguan tingkah laku depresif pasca trauma
Gangguan mental organik depresif
+
+
+
+
21 tahun
+
+
+
+
Tidak tidur nyenyak
+
+
+
+
Sering terbangun
+
+
+
+
Energi berkurang
+
+
+
+
Gairah seksual menurun
+
+
+
+
Nafsu makan menurun
+
+
+
+
Ingin mati
+
+
+
+
Keluhan bertahun-tahun.
+
+
+
+
Raut wajah sangat sedih
+
+
+
+
Bicara perlahan
+
+
+
+
Suara nyaris tak terdengar
+
+
+
+
Berespon agak lambat
+
+
+
+
Dapat mengendalikan diri
+
+
+
+

Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien, maka dapat ditetapkan bahwa Differensial Diagnosis utama adalah gangguan afektif depresi. Namun, dalam penetapan diagnosis tetap harus dilakukan pemeriksaan penunjang karena manifestasi klinis yang diberikan skenario sangatlah umum. Untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita gangguan afektif depresis atau tidak,  dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penurunan jumlah neurotransmitter yang berkaitan dengan depresi. Selain itu, kita juga perlu menanyakan riwayat penyakit terdahulu untuk menegakkan diagnosis depresi pasca scizophrenia.
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan CT-scan untuk melihat adanya kelainan organik pada otak dan melihat lokasinya. Pemeriksaan radiologi ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis Gangguan tingkah laku depresif pasca trauma dan Gangguan mental organik depresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar